Masyarakat Merdeka Tolak Pembangunan Tambak Udang. Ini Alasannya!

Pada Selasa (14/5/2019) pagi, wartawan bersama pemerhati lingkungan dan LSM lokal melihat sebuah areal tambak udang seluas 5 hektar yang siap beroperasi.

Terlihat pekerja memasang peralatan dan memasukkan air pada lahan dari pembukaan hutan mangrove tersebut berisi 16 kolam. Sisa-sisa akar dan batang bakau masih terlihat di lokasi bekas penggusuran. Sebuah eksavator sedang beroperasi di sisi barat tambak di areal hutan bakau.

Seorang karyawan melarang Mongabay Indonesia mengambil foto di lokasi tambak. Sedangkan Pius Padji Lewar (63) ketua badan Permusyawaratan Desa (BPD) desa Merdeka menunjukkan beberapa batang kayu mangrove dari lokasi tambak yang disimpannya sebagai barang bukti kerusakan hutan bakau.

Keberadaan tambak udang itu dipermasalahkan oleh BPD dan 6 tokoh masyarakat desa Merdeka, kecamatan Lebatukan, kabupaten Lembata, NTT, dengan mengirimkan surat tertanggal 13 April 2019, kepada kepala Badan Pertanahan Nasional Lembata, kepala dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Perhubungan, kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) serta kepala dinas Perikanan dan Kelautan kabupaten Lembata.

Surat tersebut berisikan penolakan kegiatan tambak udang atau ikan di atas lahan umum milik masyarakat desa Merdeka. Mereka meminta agar segala permohonan ijin sertifikat tanah dan perijinan lainnya tidak diberikan.

Dalam surat yang juga diterima Mongabay Indonesia itu disebutkan terjadi pengrusakan lingkungan pantai terutama tanaman bakau pada lokasi tambak dimana lahan tersebut milik masyarakat desa Merdeka. Dan kehadiran pengusaha tambak udang dan ikan tersebut tidak diketahui oleh seluruh masyarakat.

Dulunya Hutan Bakau

Pius Padji Lewar (63) ketua BPD desa Merdeka saat ditemui Mongabay Indonesia Selasa (14/5/2019) menjelaskan permasalahan berawal ketika Kepala Desa memberitahukan akan ada seremonial adat pembukaan tambak masyarakat beberapa tahun lalu.

Pius meminta kegiatan itu disosialisasikan dahulu kepada masayarakat. Namun Kades meminta diadakan seremonial adat dahulu. Setelah didakan seremonial adat, Pius tidak memantau ke lokasi sampai akhirnya dia mendapat informasi tanah tersebut dijual tunai kepada investor.

“Saya mendatangi kepala desa dan menanyakan hal ini. Dia tidak menjawab apakah tanahnya sudah dijual. Dia katakan saat pengukuran, ada masyarakat yang mengakui sebagai pemilik dan katakan besok akan kasih saya peta. tapi sampai saat ini dia tidak pernah datang dan sampaikan,” ungkap Pius.

Pius didukung masyarakat tetap menolak keberadaan tambak itu saat bersama kades diundang Camat bertemu bupati Lembata. Lokasi tambak itu merupakan tanah milik desa, berupa hutan bakau.

Hutan tersebut menjadi sumber penghidupan masyarakat untuk membuat garam, yang tidak bisa dilakukan lagi sejak dibuka sebagai tambak pada September 2018. “Tahun 2004 hingga 2005 pemerintah mencanagkan program penanaman bakau. Sayang sekali bakaunya sudah tidak ada lagi,” sesalnya.

Pius mengatakan masyarakat bersikeras mengambil kembali lahan tersebut dan meminta perusahaan mengembalikan tambak udang menjadi hutan bakau kembali.

Tokoh adat desa Merdeka, Petrus Pati Wahon (84) saat pertemuan di kantor desa, menjelaskan lokasi tersebut menjadi tempat masyarakat mencari ikan dan kepiting.

Masyarakat hanya ingin mengambil kembali tanah miliknya sebagai mata pencaharian, bukan meminta kompensasi uang dari pihak perusahaan.

Bekas Tambak Garam

Petrus Seran, warga desa Merdeka yang bekerja di lokasi tambak udang mengatakan pembuatan tambak berlangsung sejak 4 bulan lalu, dengan membuka hutan mangrove untuk jalur air laut ke lokasi tambak.

Petrus mengatakan lokasi tambak tidak merusak mangrove karena memanfaatkan bekas tempat pembuatan garam tradisional.

“Kami warga desa ada 20 orang bekerja di tempat ini sejak awal. Kami digaji Rp.2 juta sebulan. Kami harap dukungan dari semua pihak agar ke depannya ada pengembangan sehingga banyak warga yang bisa bekerja di tempat ini,” tuturnya.

Kepala desa Merdeka, Petrus Puan Wahon (37) mengatakan pembuatan tambak merupakan usulan masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat dusun hingga desa pada periode kepala desa sebelumnya.

Petrus Puan memasukan usulan tersebut dalam RPJMDes. Akan tetapi usulan tidak terealisir karena keterbatasan dana desa.

“Dalam perjalanan ada investor yang masuk dan sudah dibicarakan dengan BPD dan pemilik tanah. Disepakati dibuat seremonial adat. Namun dalam perjalanan kepala BPD bersama anaknya menolak pembangunan tersebut,” tuturnya.

Benediktus Lelaona, pemilik perusahaan saat ditelepon Mongabay Indonesia Jumat (17/5/2019) enggan berkomentar tentang hal tersebut dan menyarankan agar menanyakan kepada kepala desa.

“Saat pertama mau bangun saya hanya lihat lokasi saja. Tempat itu kan merupakan tanah garam Terkait kegiatan di lapangan dipantau oleh tenaga kerja saya dan aparat desa. Saya kurang mengerti jadi saya tidak bisa tanggapi.Nanti setelah pulang ke Lembata, saya tahu posisi sebenarnya, baru bisa berkomentar,” ungkapnya.(*)

Klik untuk Berbagi

Related Posts